Kebenaran - Risalah V



[postlink]http://gillaullikcreation.blogspot.com/2010/02/kebenaran-risalah-v_5329.html[/postlink]
 Bentuk pemikiran manusia mulai dari yang paling dasar adalah pengertian atau konsep (conceptus), proposisi atau pernyataan (statement), dan yang terakhir adalah penalaran (ratiocinum).  Pada dasarnya tidak ada proposisi tanpa pengertian/ konsep, dan tidak akan ada penalaran tanpa proposisi. Ketiganya adalah bentuk pemikiran manusia yang saling terkait dan harus dipahami bersama-sama, dan ditambah lagi dengan pernyataan Calne bahwa nalar adalah produk biologis, dengan tujuan biologis, dan keterbatasan biologis.
Keterbatasan itu, bisa jadi ketika dalam kondisi dimana akal manusia tidak sanggup menjangkau dan menelusuri hal-hal yang ingin diketahuinya, termasuk seluruh isi alam semesta ini, maka manusia tidak dapat mengelak dari kemungkinan adanya yang ghaib (metafisika).  Sementara akal mempunyai batas-batas kesanggupan yang tidak bisa dilaluinya, maka ia mau tidak mau atau suka tidak suka harus menuju dan berlindung kepada wahyu, antara lain dalam soal-soal kehidupan setelah kematian, hari akhir (kiamat), pembalasan atas perbuatan baik dan buruk, dan seterusnya.
Beberapa ahli dan para peneliti telah melakukan kajian yang mendalam tentang hal ini, diantaranya Ibn Rusyd (1126-1198), yang lahir di Cordova, Spanyol. Didunia barat ia dikenal dengan nama Averroes. Karya-karyanya disalin ke dalam bahasa latin oleh Bonacosa pada tahun 1255, antara lain di bidang kedokteran (16 jilid).  Pernah menjadi hakim di Sevilla. Dalam bukunya Tahafut al-Thafut, mengatakan bahwa:  “Semua yang tidak disanggupi akal, maka Tuhan memberikannya kepada manusia melalui wahyu”. (Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik).
Wahyu berasal dari kata  Arab asli al-wahy, bukan kata pinjaman dari bahasa asing.  Seperti yang dijelaskan oleh Prof. Harun Nasution, dalam bukunya, “Akal dan Wahyu”,  bahwa dalam Al-Qur’an terdapat kata-kata yang pada asalnya bukan Arab, tetapi kata-kata asing yang masuk ke dalam bahasa Arab Quraisy, itu tidak dapat diragukan.  Hejaz terletak ditengah-tengah jalan dagang Timur-Barat, dan Mekah di abad ke tujuh menjadi salah satu pusat dagang internasional. Tidak mengherankan kalau pedagang-pedagang asing berdatangan ke Mekah, bahkan diantara mereka ada yang menetap dikota itu.
Sebagai akibat dari kontak dengan orang-orang asing ini, tidak bisa dihindari membawa masuk juga kata-kata asing kedalam bahasa Arab Quraisy. Melalui bahasa Arab Quraisy ini kata-kata asing masuk kedalam Al-Qur’an.  Sebagai contoh: Kata al-qistas dalam surat al-Isra’ ayat 35, dan surat al-Syu’araa ayat 182yang artinya adil, dikatakan berasal dari Binzantium; Kemudian kata al-rass dalam surat al-Furqan ayat 38 dan surat Qaf ayat 12  yang artinya perigi dikatakan berasal dari bahasa Yunani. (Lebih lanjut lihat A.K.S Abu Rabiah, Cairo, Kutub Islamiah, 1972, hal. 76-77, dikutip oleh Prof. Harun Nasution, dalam bukunya Akal dan wahyu”).
Wahyu berarti: Suara, api dan kecepatan, juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dalam kitab, pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat. Akan tetapi kata itu lebih dikenal dalam ari:  “Apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-Nabi”,jadi dalam kata wahyu terkandung arti  ‘ penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup’.  Dan menurut Ibn Rusyd dalam bukunya Manahijul-Adillah dan Tahafutut-tahafut dikatakan, bahwa ilmu yang dibawa oleh wahyu menjadi rahmat bagi semua orang, jadi merupakan suatu keharusan untuk semua orang. Adapunkekuatan akal dalam mencari kebenaran berada dibawah kekuatan wahyu.
Dijelaskan juga oleh Ibn Rusyd dalam bukunya itu, bahwa kehidupan dan kebahagian seseorang di dunia maupun di akhirat nanti, tidak terdapat kecuali dengan keutamaan yang berhubungan dengan pikiran dan penyelidikan yang hanya bisa dicapai dengan keutamaan ahlak.  Keutamaan ahlak ini tidak akan tertanam dalam jiwa, kecuali dengan jalan untuk mengetahui Tuhan dan memuja-Nya dengan ibadah-ibadah yang diadakan menurut agama yang bisa diketahui dari syara’ yang diwahyukan itu.  Dengan kata lain, soal-soal tersebut seluruhnya atau sebagian besarnya, tidak bisa jelas kecuali dengan wahyu, atau apabila dijelaskan oleh wahyu maka lebih utama.  Hal ini dapat dimengerti, karena filsafat bertujuan mengamalkan tentang kebahagiaan manusia kepada sebagian dari mereka, yaitu mereka yang mempunyai kesanggupan mempelajarinya.  Atau dengan perkataan lain, ditujukan kepada orang-orang pandai saja atau yang memiliki kemampuan akal yang cukup.  Sedangkan syara’ bermaksud memberikan tuntunan atau pelajaran kepada orang banyak umumnya.  Karena itu ilmu yang dibawa oleh wahyu menjadi rahmat bagi semua orang. (Ahmad Hanafi, MA. Pengantar Filsafat Islam).
Kesimpulan ilmiah bisa saja berubah-ubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Namun tidak demikian halnya dengan pengetahuan yang diperoleh dari wahyu Ilahi.  Kebenaran dari pengetahuan ini bersifat mutlak, artinya tidak akan berubah sepanjang masa, dan berlaku untuk semua umat manusia, baik itu yang pandai atau cukup akalnya maupun yang mempunyai kemampuan berfikir yang biasa-biasa saja, sepanjang ia tidak hilang akal.
Di zaman kini, dimana manusia sudah semakin kritis dalam menyikapi segala sesuatu, muncul pertanyaan;  Bagaimana wahyu yang bersifat imateri yang datang dari alam imateri bisa turun ke dunia materi dan muncul dalam bentuk materi berupa kata-kata yang diucapkan.  Sebenarnya pertanyaan ini sudah tidak relevan lagi dipertanyakan di abad ini, dimana tidak bisa lagi diadakan garis pemisah yang tegas antara materi dan imateri.  Pada tahun 1923, A.H. Compton mempelajari gejala tumbukan antara foton dan elektron, dengan cara menumbukan bekas gelombang elektron magnit yang keluar dari bahan radioaktif pada keping berlium.  Pada arah tertentu dipasang detektor elektron dan foton yang dapat diatur agar hanya pasangan foton dan elektron yang datang secara serentak yang dapat dideteksi.  Dari percobaan ini, ia memperoleh kesimpulan bahwa paket energi gelombang elektromagnetik dapat berfungsi sebagai partikel.  Jadi apakah cahaya bersifat gelombang?, atau apakah cahaya bersifat materi?.
Kedua pertanyaan diatas, sama benarnya, masing-masing didukung dengan fakta yang meyakinkan, yakni dari penemuan gejala efek foto listrik kedua pertanyaan itu terjawab sekaligus.  Jadi, cahaya bersifat kembar, materi dan gelombang.  Boleh jadi cahaya memiliki salah satu sifat seperti yang diterangkan dalam fisika kuantum yang dipelopori oleh ilmuwan jenius Max Plank, Max Born. Nils Bohr. Louis de Brolie, Wener Heisenberg, dan Erwin Schrodinger.  Bila cahaya memiliki sifat kembar sebagai gelombang dan sebagai materi (partikel), misalnya elektron juga bersifat gelombang?.  Maka pada tahun 1924 Louis de Broglie, adalah orang pertama yang mengajukan hipotesis bahwa “materi dapat bersifat gelombang”.(lih. Ilmu Alamiah Dasar. Ir. Heri Purnama)
Soal materi dan imateri ini sendiri telah pula menarik perhatian ahli-ahli parapsikologi yang mengkaji soal roh-roh, intuisi, dan sebagainya.  Dalam parapsikologi terdapat pembahasan-pembahasan yang erat hubungannya dengan agama dan pengalaman-pengalaman kerohanian kaum sufi.  Mengenai roh, dalam buku-buku parapsikologi disebutkan, bahwa disamping tubuh kasar masih terdapat tubuh halus.  Sungguhpun hakekat adanya tubuh halus ini masih belum mendapat kesepakatan ahli-ahli parapsikologi, kepadanya telah diberi nama tubuh astral (astral body, astraallichaam).  Tubuh astral inilah yang mengendalikan tubuh fisik seperti yang dikemukakan oleh Prof. H. van Praag, dalam bukunya Paranormale Lichamelijkheid  Baarn, H. Meulenhoff, 1974 (hal.71).
Konsep yang diajukan oleh parapsikologi ialah:  Bahwa ketika masih hidup tubuh astral dapat keluar dari tubuh fisik.  Ada orang-orang yang mengalami hal demikian, dan ketika itu yang bersangkutan dapat menyaksikan tubuh kasarnya terbaring ditempat tidur.  Tubuh astral dan tubuh fisk dihubungkan dengan tali yang sangat halus dibagian kepala manusia.  Selama tali penghubung itu masih utuh dan tidak terputus, tubuh astral masih dapat kembali ke tubuh fisik.  Tetapi kalau terputus, tubuh astral tidak kembali ketubuh fisik, dan terjadilah kematian.Sylvan Mukdoon & Hereward Carrington, The Phenomena of Astral Projection, London, Rider Company, 1975, hal.31).
Dalam kematian, tubuh fisik kembali menjadi tanah sedang pengalaman-pengalaman ditampung oleh tubuh astral. ( Prof. H. van Praag, Paranormale Identitiet, Barn, H. Mulenhoff. 1974, hal.80).  Sebagaimana halnya dengan hakekat wujud tubuh astral, adapun kelanjutan hidup sesudah fisik mati, belum mendapat kata sepakat dikalangan ahli-ahli parapsikologi.  Masing-masing pihak dapat mengajukan argumen untuk memperkuat pendirian masing-masing. Alan Gauld, Discarnate Survival dalam Benyamin B. Wolman, ed., Handbook of Parapsychology, N York, Van Nostrand Reinhold Co., 1977, hal.615 dst. Bagaimanapun pembahasan parapsiokologi ini banyak menolong pemahaman masalah roh dan pengalaman-pengalaman kerohanian dalam agama, dikutip dari buku Akal dan Wahyu, Prof. Harun Nasution.
Selanjutnya, SG. Goal dalam bukunya The Present Status of Telepathy,  mengungkapkan;  “Kita sekarang sadar bahwa sedikit sekali yang kita ketahui tentang hakekat materi, dan kita tidak mempunyai alasan untuk mengatakan bahwa materi tidak bisa mengadakan interaksi dengan imateri”.  Sementara itu dalam Handbook of Parapsychology, disebutkan adanya Extrasensory Perception (ESP), yang dapat diartikan dengan penyerapan atau perolehan pengetahuan tidak melalui indra yang dikenal: “Knowledge of or response to an external event or influence not apprehended through known sensory chanels. (Ibid)
Uraian tentang ESP ini membawa kita kembali menengok pendapat dan penjelasan dari seorang jenius yang mendapat julukan Bapak Dokter oleh penulis barat berkat bukunya Al-Qanum fi al-Thib, yang sampai abad ke-16 masih menjadi buku rujukan dan standar ilmu kedokteran di perguruan-perguruan tinggi di Eropa, ia adalah Ibn Sina (973-1037), dalam uraiannya tentang  akal yang mempunyai daya tangkap luar biasa yang dianugerahi Tuhan kepada nabi-nabi.  Jelasnya;  “Akal demikian mempunyai kekuatan suci (qudsiah) dan diberi nama hads, dan tidak ada akal yang lebik kuat dari akal demikian”. Sejalan dengan teori ESP, maka ada nabi-nabi yang dianugerahi hads dalam bentuk penglihatan dan pendengaran.  Nabi Muhammad SAW, dianugerahi hads dalam bentuk pendengaran, dan suara yang beliau dengar itulah yang disampaikan kepada sahabat-sahabat untuk dihapal dan ditulis oleh Zaid ibn Tsabit dipelepah tamar (korma), batu yang tipis dan licin, kulit binatang, tulang binatang, dan sebagainya.  Kemudian setelah Nabi SAW wafat, dikumpulkan dan ditulis dalam satu Kitab.
Dari catatan sejarah tentang bagaimana wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dijelaskan bahwa :
  • Malaikat memasukkan wahyu itu kedalam hatinya.  Dalam hal ini Nabi SAW tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada saja dalam kalbunya.  Dalam hal ini Nabi SAW mengataka:  “Ruhul qudus me-wahyukan ke dalam kalbuku”. (QS. 42:51)
  • Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi SAW berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.
  • Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya lonceng.  Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi SAW.  Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin yang sangat.  Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu turun ketika beliau sedang mengendarai unta.  Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit:  “Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah.  Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras, dan keringatnya bercucuran seperti permata.  Kemudian setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa”.
  • Malaikat menampakan dirinya kepada Nabi SAW, tidak berupa seorang laki-laki seperti keadaan diatas, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli.  Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an :  “Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada kali yang lain (kedua). Ketika (ia berada) di Sidratulmuntaha”.  (Sejarah Pemeliharaan Kemurnian Al-Qur’an, Dep. Agama R.I, Al-Qur’an Dan Terjemahannya)