Kebenaran - Risalah I
[postlink]http://gillaullikcreation.blogspot.com/2010/02/kebenaran-risalah-i.html[/postlink]
Apakah kebenaran itu? Pertanyaan seperti ini telah ada sejak zaman dahulu dan menimbulkan berbagai pendapat dan pandangan dari berbagai tokoh agama, pemikir (filosof), ilmuwan, pengusaha, dan para orang tua yang selalu mendapat pertanyaan dari anak-anaknya, dan seterusnya. Padahal jawaban yang tidak menimbulkan keraguan atas pertanyaan ini sangat dibutuhkan.
Kata ‘kebenaran’ menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah: Keadaan (hal dsb) yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya; sesuatu yang sungguh-sungguh (benar-benar ada); kelurusan hati, kejujuran dan seterusnya. Dalam “hal keadaan”, sering kita mendengar bahwa “kita harus berani mempertahankan kebenaran” , atau sesuatu yang sungguh-sungguh ada yakni “kebenaran yang diajarkan oleh agama”, namun dapatkah kita menjamin bahwa tidak ada lagi pertanyaan susulan yang tidak menimbulkan keraguan si penanya?
Sementara itu menurut Wikipedia, Apakah Kebenaran Itu?, yang banyak diperdebatkan oleh teologiwan, filsuf, dan ahli logika. Yakni; Salah satu cara sederhana untuk mempelajari suatu subyek adalah menentukan segala sesuatu yang bisa benar atau salah, termasuk pernyataan, proposisi, kepercayaan, kalimat, dan pemikiran.
Diantara pemahaman pengertian Kebenaran, ada pihak yang mengklaim bahwa, ia menjadi lebih mengerti apa makna mengenai suatu pengetahuan dengan melalui beberapa paradigma berpikir dalam mengungkap kebenaran suatu realitas yang memang kerapkali hadir dalam kehidupan kita.
Namun, dipihak lain mengatakan bahwa, yang dimaksud Kebenaran adalah sesuatu yang selalu berkembang sesuai dengan kenyataan realitas, dan harus diketahui apa dasar yang dijadikan pijakan yang digunakan dalam mengungkap apa yang disebut kebenaran. Ilmu pengetahuan itu tergantung pada sesuatu yang lain, jadi kebenaran-nya merupakan kebenaran yang berkaitan dengan sesuatu yang lain itu saja.
Dan bisa jadi perbincangan atau perdebatan mengenai Kebenaran itu akan menjadi rumit bila dikaitkan dengan masalah keyakinan, ambil contoh; Kebenaran Spiritul umumnya lebih bersifat idealis ketimbang kebenaran ilmiah yang bersifat realis. Dimana kebenarannya dapat dianggap benar oleh orang lain bila , ada alasan (argumen) yang dapat meyakinkan orang lain (terbawa kepentingan). Namun dalam tulisan ini, kita akan memulai membebaskan diri dulu dari keberpihakan.
500 Tahun Sebelum Masehi
Menengok perjalanan panjang sejarah anak manusia ketika belum dimulainya tarikh masehi dalam sistem kalender seperti yang kita kenal sekarang ini, lahir seorang anak raja sekitar tahun 560 SM (tahun yang biasa dikutip oleh cendikiawan barat), di India Utara, kira-kira seratus mil dari Benares, yang nama lengkapnya adalah Siddarta Gautama dari Sakya, yang kemudian dikenal dengan Sang Budha. Menyampaikan khotbah pertamanya dihadapan murid-muridnya yang ketika itu masih sedikit, sekitar lima orang pertapa; Tentang ‘Empat Kebenaran utama’. Secara keseluruhan empat hal itu merupakan dalil-dalil sistem ajarannya, yaitu sebagai postulat dasar yang merupakan sumber dari segala sesuatu yang diajarkan secara logis, yakni:
Kebenaran Utama yang pertama, adalah bahwa hidup itu adalah dukkha, yang biasanya diterjemahkan sebagai penderitaan.
Kebenaran Utama yang kedua, yakni penyebab dari tergelincirnya hidup ini adalah tantha, biasanya diterjemahkan sebagai keinginan.
Kebenaran Utama yang ketiga, yakni jika kita dapat dibebaskan dari batas-batas kepentingan dari kehidupan semesta, maka kita akan bebas dari siksaan yang kita alami.
Kebenaran Utama yang keempat, yaitu pengatasan tantha (keinginan), sebagai jalan ke luar dari kurungan kita, melalui Delapan Jalan; 1). Pengetahuan yang benar. 2). Kehendak yang benar. 3). Perkataan yang baik. 4). Prilaku yang baik. 5). Penghidupan yang benar. 7). Pikiran yang benar. 8). Renungan yang benar. (lebih lanjut lihat The Religions of Man, Huston Smith hal. 106-186).
Selanjutnya marilah kita menyeberang ke daratan Cina untuk mengenal, seorang tokoh yang erat kaitannya dengan kebudayaan Cina, ia adalah Konfusius, Kung Fu Tzu (Kung sang Guru), dimana orang- orang Cina dengan penuh hormat menyebutnya sebagai Guru Pertama. Konfusius lahir sekitar tahun 551 SM di kabupaten Lu, yang sekarang berada di Propinsi Shantung. Ayahnya meninggal pada waktu Konfusius baru berusia 3 tahun, pendidikan selanjutnya dijalankan oleh ibunya seorang yang baik, sabar tapi miskin. (Ada berita, bahwa agama Khong Hu Cu menerima perlakuan kasar selama bertahun-tahun sejak komunis berkuasa di Cina, nampaknya kini sedang muncul kembali kepermukaan. pen).
Jika dalam tulisan-tulisannya terdahulu Mao Tze-Tung menghandrik agama Khong Hu Cu sebagai agama semi feodal, namun akhirnya ia menganjurkan bangsanya untuk mempelajari ajaran Konfusius, dan mungkin sekali dewasa ini orang-0rang Cina sedang menelaah rumusan dasar Konfusius:
Jika ada kebenaran dalam hati, akan ada keindahan dalam watak
Jika ada keindahan dalam watak, akan ada keselarasan dalam rumah tangga
Jika ada keselarasan dalam rumah tangga, akan ada ketertiban dalam bangsa
Jika ada ketertiban dalam bangsa, akan ada perdamaian di dunia. (Ibid, hal. 188-224)
Sementara itu dipesisir barat Asia Kecil. Yunani, yang ketika itu wilayahnya jauh lebih luas dari yang kita ketahui di peta pada saat ini, meliputi pesisir Asia Kecil (kini wilayah Turki) sampai pulau Sisilia serta Italia Selatan, bahkan sampai daerah Kyrene di daratan Afrika. Permenides yang lahir sekitar tahun 515 SM di kota Elea sebalah selatan Italia, adalah seorang tokoh utama dalam filsafat pra-sokratik dan juga sebagi anggota paling terkemuka dari kelompok pemikir mazhab Eleatik, mengemukakan pemikirannya bahwa ‘Seluruh jalan kebenaran itu bersandar pada satu keyakinan: “Yang ada itu ada (what is, is)”. Itulah kebenaran. Sama sekali mustahil memungkiri kebenaran itu. Ada dua pengandaian yang mungkin:
Atau orang bisa mengemukakan bahwa yang ada itu tidak ada
Atau orang dapat mengatakan bahwa yang ada serentak ada dan serentak juga tidak ada. (lebih lanjut lihat Sejarah Filsafat Yunani, Dr. Kees Bertens hal. 47-49).
Kemudian Rafael Steinberg dalam bukunya Man and the Organization, mengutip pendapat Desmond Steward, seorang peneliti sekaligus penulis tentang peradaban masalah Timur Tengah, menyatakan bahwa dalam suatu masyarakat Mesir kuno yang ketika masa itu kehidupannya sangat tergantung pada irigasi, memerlukan raja yang kuat dan berkuasa penuh yakni: “Mesir kuno telah menemukan suatukebenaran yang sangat sesuai dengan masyarakat yang sangat bergantung pada pengendalian sungai besar: Suatu kekuasaan pusat yang mampu memelihara terusan-terusan dan membagi airnya, adalah suatu hal yang baik dan benar, bukan hal buruk dan salah”. Raja tidak saja melambangkan kekuatan, tetapi juga harus mewujudkan keadilan dan kekuasaan.
Pendapat-pendapat Para Ahli
Bertrand Russell (1872-1970), seorang yang sangat berpengaruh dalam perkembangan analisis logis filsafat pada abad dua puluh, peraih hadiah Nobel Sastra (1950), yang dalam usianya yang ke-98 tahun (tiga hari sebelum kematiannya), menyampaikan kecaman terhadap tindakan Israel pada perang Arab-Israel: “Message from Bertrand Russell to the International Conference of Parliamentarians in Cairo”, sesungguhnya adalah gejolak tuntutan yang timbul dari dalam dirinya akan nilai Kebenaran yang hendak disampaikannya, dan tidak jadi soal apakah protesnya itu berhasil atau tidak.
Dalam salah satu karya pentingnya yang meminjam argumen dari wilayah sosiologi, psikologi, fisika, dan matematika, untuk menyangkal pendapat idealisme, mazhab yang dominan pada waktu itu, The Problems of Philosophy. Ia memulai pada bab pertama dalam bukunya itu dengan pertanyaan: “Is there any knowledge in the world which is so certain that no reasonableman could doubt it?” (Apakah ada pengetahuan di dunia ini yang begitu pasti sehingga tidak ada satupun manusia yang rasional yang dapat meragukannya?).
Untuk menjawab pertanyaan ini Russell menguji dan menjelaskan cara bagaimana kita memahami dunia. Ia memperkenalkan istilah ‘data indera’ untuk hal-hal seperti ; warna, bau, kekerasan, kekasaran dan seterusnya. Ia mengundang kesadaran kita dengan sense datum a sensation (sensasi akan data indera). Ia membedakan antara apa yang disebutnya dengan ‘pengetahuan dengan pengenalan’dan ‘pengetahuan dengan deskripsi’ . Ketika pengetahuan akan hal-hal dimiliki, maka kita dapat memiliki pengenalan langsung hanya dengan data indera, diri kita sendiri, dan kondisi mental kita. Argumennya, bahwa kita tidak secara langsung berkenalan dengan obyek-obyek fisik, tetapi menyimpulkan obyek-obyek seperti orang-orang, rumah, pohon, meja, binatang dan seterusnya dari data-indera itu, sebenarnya obyek-obyek hanya menjadi sebab data indera. (Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia yang menggerakan. pen)
Bagaimana menurut Dr. Amsal Bakhtiar, MA, tentang ukuran Kebenaran?, dalam bukunya Filsafat Ilmu, ia menjelaskan bahwa dengan “berpikir”; Bahwa dengan berpikir menurutnya, adalah merupakan suatu kegiatan kita untuk menemukan pengetahuan yang benar: “Apa yang disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain”. Karena itu, kegiatan berpikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenaran. Sebab pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya, karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Ambil contoh, pengetahuan tentang alam metafisika tentunya tidak sama dengan pengetahuan tentang alam fisik, dan alam fisik pun memiliki perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap jenis dan bidang pengetahuan.
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapaiKebenaran. namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja. Problemkebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah epistemologi terhadap ‘kebenaran’ membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran sematis (dikutip dari; Aholiab Wathloly dalam ‘Tanggung Jawab Pengetahuan’. Yogyakarta; Kanisius, 2001).
Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia.
Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan.
Kebenaran dalam arti sematis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa.
Beberapa tulisan yang kurang lebih isinya hampir sama dengan pendapat ahli diatas, tidak saya salin disini dimaksudkan agar tidak menjadi terlalu panjang dan terkesan bertele-tele. Dan bila ada waktu nanti, setelah seluruh tulisan ini saya salin di webblog ini, akan saya tambahkan dengan menyunting seperlunya saja.
Risalah I
Apakah kebenaran itu? Pertanyaan seperti ini telah ada sejak zaman dahulu dan menimbulkan berbagai pendapat dan pandangan dari berbagai tokoh agama, pemikir (filosof), ilmuwan, pengusaha, dan para orang tua yang selalu mendapat pertanyaan dari anak-anaknya, dan seterusnya. Padahal jawaban yang tidak menimbulkan keraguan atas pertanyaan ini sangat dibutuhkan.
Kata ‘kebenaran’ menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah: Keadaan (hal dsb) yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya; sesuatu yang sungguh-sungguh (benar-benar ada); kelurusan hati, kejujuran dan seterusnya. Dalam “hal keadaan”, sering kita mendengar bahwa “kita harus berani mempertahankan kebenaran” , atau sesuatu yang sungguh-sungguh ada yakni “kebenaran yang diajarkan oleh agama”, namun dapatkah kita menjamin bahwa tidak ada lagi pertanyaan susulan yang tidak menimbulkan keraguan si penanya?
Sementara itu menurut Wikipedia, Apakah Kebenaran Itu?, yang banyak diperdebatkan oleh teologiwan, filsuf, dan ahli logika. Yakni; Salah satu cara sederhana untuk mempelajari suatu subyek adalah menentukan segala sesuatu yang bisa benar atau salah, termasuk pernyataan, proposisi, kepercayaan, kalimat, dan pemikiran.
Diantara pemahaman pengertian Kebenaran, ada pihak yang mengklaim bahwa, ia menjadi lebih mengerti apa makna mengenai suatu pengetahuan dengan melalui beberapa paradigma berpikir dalam mengungkap kebenaran suatu realitas yang memang kerapkali hadir dalam kehidupan kita.
Namun, dipihak lain mengatakan bahwa, yang dimaksud Kebenaran adalah sesuatu yang selalu berkembang sesuai dengan kenyataan realitas, dan harus diketahui apa dasar yang dijadikan pijakan yang digunakan dalam mengungkap apa yang disebut kebenaran. Ilmu pengetahuan itu tergantung pada sesuatu yang lain, jadi kebenaran-nya merupakan kebenaran yang berkaitan dengan sesuatu yang lain itu saja.
Dan bisa jadi perbincangan atau perdebatan mengenai Kebenaran itu akan menjadi rumit bila dikaitkan dengan masalah keyakinan, ambil contoh; Kebenaran Spiritul umumnya lebih bersifat idealis ketimbang kebenaran ilmiah yang bersifat realis. Dimana kebenarannya dapat dianggap benar oleh orang lain bila , ada alasan (argumen) yang dapat meyakinkan orang lain (terbawa kepentingan). Namun dalam tulisan ini, kita akan memulai membebaskan diri dulu dari keberpihakan.
500 Tahun Sebelum Masehi
Menengok perjalanan panjang sejarah anak manusia ketika belum dimulainya tarikh masehi dalam sistem kalender seperti yang kita kenal sekarang ini, lahir seorang anak raja sekitar tahun 560 SM (tahun yang biasa dikutip oleh cendikiawan barat), di India Utara, kira-kira seratus mil dari Benares, yang nama lengkapnya adalah Siddarta Gautama dari Sakya, yang kemudian dikenal dengan Sang Budha. Menyampaikan khotbah pertamanya dihadapan murid-muridnya yang ketika itu masih sedikit, sekitar lima orang pertapa; Tentang ‘Empat Kebenaran utama’. Secara keseluruhan empat hal itu merupakan dalil-dalil sistem ajarannya, yaitu sebagai postulat dasar yang merupakan sumber dari segala sesuatu yang diajarkan secara logis, yakni:
Kebenaran Utama yang pertama, adalah bahwa hidup itu adalah dukkha, yang biasanya diterjemahkan sebagai penderitaan.
Kebenaran Utama yang kedua, yakni penyebab dari tergelincirnya hidup ini adalah tantha, biasanya diterjemahkan sebagai keinginan.
Kebenaran Utama yang ketiga, yakni jika kita dapat dibebaskan dari batas-batas kepentingan dari kehidupan semesta, maka kita akan bebas dari siksaan yang kita alami.
Kebenaran Utama yang keempat, yaitu pengatasan tantha (keinginan), sebagai jalan ke luar dari kurungan kita, melalui Delapan Jalan; 1). Pengetahuan yang benar. 2). Kehendak yang benar. 3). Perkataan yang baik. 4). Prilaku yang baik. 5). Penghidupan yang benar. 7). Pikiran yang benar. 8). Renungan yang benar. (lebih lanjut lihat The Religions of Man, Huston Smith hal. 106-186).
Selanjutnya marilah kita menyeberang ke daratan Cina untuk mengenal, seorang tokoh yang erat kaitannya dengan kebudayaan Cina, ia adalah Konfusius, Kung Fu Tzu (Kung sang Guru), dimana orang- orang Cina dengan penuh hormat menyebutnya sebagai Guru Pertama. Konfusius lahir sekitar tahun 551 SM di kabupaten Lu, yang sekarang berada di Propinsi Shantung. Ayahnya meninggal pada waktu Konfusius baru berusia 3 tahun, pendidikan selanjutnya dijalankan oleh ibunya seorang yang baik, sabar tapi miskin. (Ada berita, bahwa agama Khong Hu Cu menerima perlakuan kasar selama bertahun-tahun sejak komunis berkuasa di Cina, nampaknya kini sedang muncul kembali kepermukaan. pen).
Jika dalam tulisan-tulisannya terdahulu Mao Tze-Tung menghandrik agama Khong Hu Cu sebagai agama semi feodal, namun akhirnya ia menganjurkan bangsanya untuk mempelajari ajaran Konfusius, dan mungkin sekali dewasa ini orang-0rang Cina sedang menelaah rumusan dasar Konfusius:
Jika ada kebenaran dalam hati, akan ada keindahan dalam watak
Jika ada keindahan dalam watak, akan ada keselarasan dalam rumah tangga
Jika ada keselarasan dalam rumah tangga, akan ada ketertiban dalam bangsa
Jika ada ketertiban dalam bangsa, akan ada perdamaian di dunia. (Ibid, hal. 188-224)
Sementara itu dipesisir barat Asia Kecil. Yunani, yang ketika itu wilayahnya jauh lebih luas dari yang kita ketahui di peta pada saat ini, meliputi pesisir Asia Kecil (kini wilayah Turki) sampai pulau Sisilia serta Italia Selatan, bahkan sampai daerah Kyrene di daratan Afrika. Permenides yang lahir sekitar tahun 515 SM di kota Elea sebalah selatan Italia, adalah seorang tokoh utama dalam filsafat pra-sokratik dan juga sebagi anggota paling terkemuka dari kelompok pemikir mazhab Eleatik, mengemukakan pemikirannya bahwa ‘Seluruh jalan kebenaran itu bersandar pada satu keyakinan: “Yang ada itu ada (what is, is)”. Itulah kebenaran. Sama sekali mustahil memungkiri kebenaran itu. Ada dua pengandaian yang mungkin:
Atau orang bisa mengemukakan bahwa yang ada itu tidak ada
Atau orang dapat mengatakan bahwa yang ada serentak ada dan serentak juga tidak ada. (lebih lanjut lihat Sejarah Filsafat Yunani, Dr. Kees Bertens hal. 47-49).
Kemudian Rafael Steinberg dalam bukunya Man and the Organization, mengutip pendapat Desmond Steward, seorang peneliti sekaligus penulis tentang peradaban masalah Timur Tengah, menyatakan bahwa dalam suatu masyarakat Mesir kuno yang ketika masa itu kehidupannya sangat tergantung pada irigasi, memerlukan raja yang kuat dan berkuasa penuh yakni: “Mesir kuno telah menemukan suatukebenaran yang sangat sesuai dengan masyarakat yang sangat bergantung pada pengendalian sungai besar: Suatu kekuasaan pusat yang mampu memelihara terusan-terusan dan membagi airnya, adalah suatu hal yang baik dan benar, bukan hal buruk dan salah”. Raja tidak saja melambangkan kekuatan, tetapi juga harus mewujudkan keadilan dan kekuasaan.
Pendapat-pendapat Para Ahli
Bertrand Russell (1872-1970), seorang yang sangat berpengaruh dalam perkembangan analisis logis filsafat pada abad dua puluh, peraih hadiah Nobel Sastra (1950), yang dalam usianya yang ke-98 tahun (tiga hari sebelum kematiannya), menyampaikan kecaman terhadap tindakan Israel pada perang Arab-Israel: “Message from Bertrand Russell to the International Conference of Parliamentarians in Cairo”, sesungguhnya adalah gejolak tuntutan yang timbul dari dalam dirinya akan nilai Kebenaran yang hendak disampaikannya, dan tidak jadi soal apakah protesnya itu berhasil atau tidak.
Dalam salah satu karya pentingnya yang meminjam argumen dari wilayah sosiologi, psikologi, fisika, dan matematika, untuk menyangkal pendapat idealisme, mazhab yang dominan pada waktu itu, The Problems of Philosophy. Ia memulai pada bab pertama dalam bukunya itu dengan pertanyaan: “Is there any knowledge in the world which is so certain that no reasonableman could doubt it?” (Apakah ada pengetahuan di dunia ini yang begitu pasti sehingga tidak ada satupun manusia yang rasional yang dapat meragukannya?).
Untuk menjawab pertanyaan ini Russell menguji dan menjelaskan cara bagaimana kita memahami dunia. Ia memperkenalkan istilah ‘data indera’ untuk hal-hal seperti ; warna, bau, kekerasan, kekasaran dan seterusnya. Ia mengundang kesadaran kita dengan sense datum a sensation (sensasi akan data indera). Ia membedakan antara apa yang disebutnya dengan ‘pengetahuan dengan pengenalan’dan ‘pengetahuan dengan deskripsi’ . Ketika pengetahuan akan hal-hal dimiliki, maka kita dapat memiliki pengenalan langsung hanya dengan data indera, diri kita sendiri, dan kondisi mental kita. Argumennya, bahwa kita tidak secara langsung berkenalan dengan obyek-obyek fisik, tetapi menyimpulkan obyek-obyek seperti orang-orang, rumah, pohon, meja, binatang dan seterusnya dari data-indera itu, sebenarnya obyek-obyek hanya menjadi sebab data indera. (Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia yang menggerakan. pen)
Bagaimana menurut Dr. Amsal Bakhtiar, MA, tentang ukuran Kebenaran?, dalam bukunya Filsafat Ilmu, ia menjelaskan bahwa dengan “berpikir”; Bahwa dengan berpikir menurutnya, adalah merupakan suatu kegiatan kita untuk menemukan pengetahuan yang benar: “Apa yang disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain”. Karena itu, kegiatan berpikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenaran. Sebab pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya, karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Ambil contoh, pengetahuan tentang alam metafisika tentunya tidak sama dengan pengetahuan tentang alam fisik, dan alam fisik pun memiliki perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap jenis dan bidang pengetahuan.
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapaiKebenaran. namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja. Problemkebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah epistemologi terhadap ‘kebenaran’ membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran sematis (dikutip dari; Aholiab Wathloly dalam ‘Tanggung Jawab Pengetahuan’. Yogyakarta; Kanisius, 2001).
Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia.
Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan.
Kebenaran dalam arti sematis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa.
Beberapa tulisan yang kurang lebih isinya hampir sama dengan pendapat ahli diatas, tidak saya salin disini dimaksudkan agar tidak menjadi terlalu panjang dan terkesan bertele-tele. Dan bila ada waktu nanti, setelah seluruh tulisan ini saya salin di webblog ini, akan saya tambahkan dengan menyunting seperlunya saja.