Kebenaran - Risalah II
[postlink]http://gillaullikcreation.blogspot.com/2010/02/kebenaran-risalah-ii.html[/postlink]
Lanjutan dari Kebenaran Risalah I
Berpikir seyogyanya adalah upaya untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, logis, dan analisis, sering disebut dengan penalaran, namun kadang manusia sering mengambil suatu kesimpulan merujuk pada perasaannya yang tidak berdasarkan penalaran. Para ahli sosiobiologi menempatkan keunggulan perasaan dibandingkan nalar pada saat-saat kritis, dimana perasaan atau emosi menuntut kita dalam menghadapi saat-saat kritis dan tugas-tugas yang terlampau riskan bila hanya diserahkan pada otak atau nalar saja.
Ambil contoh, tindakan heroik yang dikutip oleh Daniel Goleman, Ph.D dari Associated Press, 15 September 1993 dalam bukunya Emosional Intelligence, yang mengisahkan : saat-saat terakhir Gary dan Mary Jane Chauncey, pasangan yang amat menyayangi Andrea, putri mereka yang berumur sebelas tahun. Alkisah, keluarga Chauncey adalah penumpang kereta Amtrak yang tercebur kesungai setelah sebuah tongkang menghantam dan mengguncangkan jembatan rel kereta api di sungai kecil di kawasan pedesaan Lousiana. Karena lebih memikirkan keselamatan putri mereka, pasangan tersebut berusaha keras menolong Andrea sewaktu air menghambur masuk ke dalam kereta yang tengah tenggelam. Mereka berhasil menolong Andrea keluar melalui sebuah jendela yang agak terbuka sedikit ke regu penyelamat. Kemudian sewaktu gerbong itu tenggelam ke bawah air, mereka lenyap.
Kisah ini menyiratkan kekuatan emosi yang luar biasa; Hanya cinta yang amat kuatlah yang mendorong desakan untuk menyelamatkan anak tercinta dan mengalahkan hasrat orang tua menyelamatkan diri sendiri. Apabila masalahnya menyangkut pengambilan keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya, bahkan seringkali lebih penting dari pada nalar. “Kecerdasantidaklah berarti apa-apa bila emosi yang berkuasa”. Apa yang bisa kita tangkap disini?, tindakan atau keputusan yang diambil oleh suami istri Chauncey pada saat itu adalah memang benar seharusnya mereka lakukan?. Naluri mereka mungkin pada saat itu mengatakan inilah Kebenaran yang musti dilakukan, tanpa harus memikirkan keselamatannya sendiri, dan inilah yang selanjutnya Daniel Goleman menyebutnya dengan: “Kecerdasan Emosional” (Emotional Quotient. pen).
Ada juga pengetahuan intuitif yang secara tiba-tiba saja memunculkan jawaban yang lengkap dari suatu masalah yang tidak sedang dicari, akan tetapi tidak dapat atau sulit dijelaskan bagaimana ia sampai pada pemecahan masalah tersebut. Ada pendapat yang menyatakan bahwa intuisi adalah pengalaman puncak dan merupakan inteligensi tertinggi. Intuisi merupakan kegiatan berpikir yang tidak analistis, tidak berdasarkan pola pikir tertentu yang timbul dari pengetahuan-pengetahuan yang terdahulu melalui suatu proses berpikir yang tidak disadari.
Menurut Anton Baker, dalam bukunya Metodologi Penelitian Filsafat, mengatakan bahwa; Pada manusia ada suatu pengetahuan lain lagi, yang begitu khusus, sehingga seakan-akan merupakan suatu macam tersendiri, yaitu pengetahuan intuitif. Sebenarnya pengetahuan itu tetap termuat dalam rasionalitas manusia pada umumnya, tetapi ia sedikit mendapat perlawanan dari pengetahuan rasional. Pemahaman intuitif dapat dengan tiba-tiba membuka pemahaman, tanpa ada sesuatu metode terarah, ambil contoh; Kisah Archimedes ketika berteriak : “Eureka, Eureka” (aku menemukan, aku menemukan), pada saat ia menemukan jawaban tentang bagaimana mengukur ukuran bentuk benda tanpa bentuk pasti, tubuh manusia. Penemuan itu terjadi justru tatkala ia berendam di bak mandi dan melihat air melimpah keluar bak mandinya setara dengan ukuran tubuhnya.
Pengetahuan intuitif tidak dapat diandalkan sebagai hipotesis yang selanjutnya perlu dilakukan analisis untuk menentukan kebenaran-nya. Sebagian ilmuwan kontemporer telah menyadari dan mengakui adanya kekuatan diluar jangkauan rasio yang berupa ilham atau biasa disebut juga intuisi, antara lain Alexis Carrel pemenang Nobel Kedokteran, dalam bukunya Man the Unknown (Manusia, Sebuah Misteri), sebagaimana dikutip oleh Mahdi Ghulsyani sebagai berikut :
“Jelaslah penemuan-penemuan besar bukanlah produk intelegensia saja. Manusia-manusia jenius, sebagai tambahan bagi kekuatan pengamatan dan pemahamannya memiliki kualitas-kualitas lain, seperti intuisi dan imajinasi kreatif. Dengan intuisi mereka mempelajari hal-hal yang diabaikan oleh manusia lain; mereka melihat hubungan-hubungan antara fenomena yang nampaknya tak berhubungan. Dengan tidak sadar mereka merasakan kehadiran hal-hal berharga yang tak diketahui”. (Dr. Imam Syafi’ie, MA; Konsep Ilmu Pengetahuan.pen)
Sementara itu marilah kita coba kembali menengok ke upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan yang benar dengan berpikir. Beberapa teori mengatakan: “Hukum-hukum, asas-asas, patokan-patokan Logika membimbing akal menempuh jalan yang paling efisien untuk menjaga kemungkinan salah dalam berpikir“, dikutip dari Randal & Buchler dalam Introduction to Philosophy;Ukuran kebenaran pada dasarnya adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan. Kedua adalah adanya persesuaian atau tidak adanya pertentangan dalam dirinya. Suatu pernyataan dikatakan benar manakala ia tidak mengandung pertentangan dari awal hingga akhir.
Sebelum kita melangkah lebih lanjut, ada baiknya kita menyamakan dulu persepsi kita tentang Apa itu Logika? seperti yang dikutip dari Randal & Buchler diatas : “Logika (logos) berasal dari kata Yunani kuno, yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu logika disebut dengan logike episteme (latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Pemahaman ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan kedalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal. (Wikipedia)
Didalam uraiannya tentang kegunaan logika disebutkan juga, antara lain untuk meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kesalahan=kesalahan dalam berpikir. Oleh karena itu dalam aktifitas berpikir kita tidak boleh melalaikan patokan pokok yang oleh logika disebut asas berpikir yang merupakan pangkal atau asal dari mana sesuatu itu muncul dan dimengerti. Seperti diuraikan oleh Drs. Mundiri dalam bukunya Logika; Asas pemikiran dapat dibedakan menjadi:
- Asas indentitas (princium indentitatis = qanun zatiyah), adalah dasar dari semua pemikiran dan bahkan asas pemikiran yang lain. Prinsip ini mengatakan bahwa ’sesuatu itu adalah dia sendiri bukan yang lainnya’. Jika kita mengakui bahwa sesuatu itu Z maka ia adalah Z bukan A, atau bila proposisi itu benar maka benarlah ia.
- Asas kontradiksi (principium contrradictoris = qanun tanaqud), yakni ‘pengingkaran sesuatu tidaklah mungkin sama dengan pengakuannya’. Jika kita mengakui bahwa sesuatu itu bukan A, maka tidak mungkin pada saat itu ia adalah A, sebab realitas ini hanya satu (lih. indentitas). Dua kenyataan tidak mungkin bersama-sama secara stimultan, dengan kata lain ‘Tidak ada proposisi yang sekaligus benar dan salah’.
- Asas penolakan kemungkinan ketiga (principium exclusitertii = qanun imtina, antara pengakuan dan pengingkaran kebenarannya terletak pada salah satunya, tidak mungkin benar atau salah keduanya. Bila pernyataan dalam bentuk positifnya salah berarti ia memungkiri realitasnya (bertentangan dengan pernyataannya), maka pernyataan yang berbentuk ingkarlah yang benar, karena inilah yang sesuai dengan realitas, demikian sebaliknya. Pernyataan kontradiktoris kebenarannya terdapat pada salah satunya (tidak memerlukan kemungkinan ketiga), dan jika dirumuskan menjadi ’suatu proposisi selalu dalam keadaan benar atau salah’.
Lantas pertanyaannya kini apakah dengan demikian, cukup hanya dengan memahami dan mendalami logika saja kita bisa menjadi cerdas untuk mengetahui hakekat kebenaran? seperti yang diuraikan bahwa, kegunaan logika ialah antara lain untuk menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri, (Lih. kegunaan logika, Wikipedia), mari kita tengok apa kata Danah Zohar.
Dalam kajian Danah Zohar yang mempelajari ilmu fisika dan filsafat di MIT dan menyelesaikan program doktortalnya di Harvard dalam bidang psikologi dan teologi, dengan dibantu oleh suaminya Ian Marshall yang dokter ahli jiwa dan filosof, memperkenalkan kecerdasan spiritual atau Spiritual Quotient (SQ), antara lain menyatakan bahwa penalaran kita yang dalam dan intuitif akan“makna dan nilai” merupakan petunjuk bagi kita saat berada diujung. SQ adalah hati nurani kita. Ia mengutip dalam bahasa Ibrani, kata “hati nurani; pedoman; yang tersembunyi; kebenaran batin yang tersembunyi dari jiwa” memiliki akar kata yang sama. (Danah Zohar & Ian Marshall, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan holistik untuk memaknai kehidupan). Apakah kebenaran ini yang dimaksud dengan aksiomatis?.
Intelegensia quotient (IQ) mengukur kecerdasan rasional kita, dan selama berpuluh tahun dipandang sebagai ukuran terbaik atas kecerdasan dan potensi sesorang. Tetapi pada awal 1990-an, Daniel Goleman menunjukan bahwa sukses juga tergantung pada kecerdasan emosi (EQ). Kemudian pada akhir abad ke-20, Danah Zohar & Ian Marshall mengklaim bahwa ada “Q” lain yang harus dipertimbangkan, yakni “SQ” atau kecerdasan spiritual. Bahkan Zohar menegaskan bahwa “SQ” adalah landasan yang niscaya untuk membangun IQ dan EQ.
Immanuel Kant (1724-1804), berpendapat bahwa keabadian jiwa termasuk salah satu aksioma bagi akal praktis, dan yang dimaksud dengan akal praktis (la raison practique) menurut pendapat Kant adalah “suara hati” (nurani). Sementara itu ada juga upaya yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan kebenaran, yaitu dengan cara coba-coba (trial and error). Namun seperti kita ketahui bahwa cara seperti ini akan memakan waktu yang lama dan kurang efektif karena ada unsur untung-untungan didalam memperoleh hasil dari coba-cobanya, disamping akan sangat tergantung pada situasi dan kondisi yang sedang berjalan, atau dengan kata lain selalu berubah-ubah (tidak tetap), tidak berlaku secara umum (bersifat khusus).
Baiklah, pada kesempatan lain kita akan bahas tentang logika ini pada Risalah berikut nanti, yang katanya juga untuk meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, obyektif, dan menambah kecerdasan serta meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri itu, yang padahal telah disinggung sedikit diatas, ada bentuk-bentuk kecerdasan lain pada diri manusia, yakni; “Kecerdasan Emotional”, seperti yang dikemukan oleh Daniel Goleman, maupun“Kecerdasan Spritual” yang disodorkan oleh suami istri Ian Marshall dan Danah Zohar.