Kebenaran - Risalah IV



[postlink]http://gillaullikcreation.blogspot.com/2010/02/kebenaran-risalah-iv.html[/postlink]
Dalam tulisan ini kita tidak sedang membahas atau mengkaji filsafat yang menurut jenis justifikasinya  diakomodasikan oleh jawaban-jawaban pertanyaan seperti;  “Apa yang aku ketahui?, bagaimana aku mengetahuinya?, apakah aku yakin?, dan  apakah aku benar?”.  Pertanyaan-pertanyaan ini seyogyanya berkaitan dengan penyelidikan sistematis studi yang secara singkat diringkas sbb:
  •  Logika;  Berkaitan dengan telaah terhadap asas-asas metode penalaransecara benar.
  • Epistemologi;  Merupakan cabang filsafat, yang menyelidiki asal,  sifat,  metode dan batasan pengetahuan manusia.
  • Aksiologi;  Azas mengenai cara bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan yang secara epistemologi diperoleh dan disusun, berkaitan denga nilai-nilai seperti etika, estetika, atau agama.
  • Metafisika;  Adalah suatu studi tentang sifat dan fungsi teori tentang realita.  Menurut pendapat, Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya, Filsafat Ilmu, mengatakan bahwa metafisika merupakan suatu kajian tentang hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran, dan hakikat kaitan zat dan pikiran.
Beruntunglah manusia yang  telah dianugerahi akal (rasio) yang memiliki kemampuan luar biasa, sehingga manusia dapat memiliki kemampuan belajar untuk memperoleh pengetahuannya. Dari hal-hal yang semula tidak diketahuinya, kemudian menjadi tahu dan bahkan dari pengetahuan yang telah diketahuinya itu kemudian dikembangkan sedemikian rupa,  dari mulai pengetahuan atau ilmu yang berguna bagi sesamanya sampai yang dapat menghancurkan atau membinasakan sesamanya (bom hydrogen).   Jika hasil-hasil penemuan yang ada saat ini, bila diceritakan pada zaman dulu, niscaya akan dianggap sebagai omong kosong atau juga bisa dianggap sebagai hal yang tidak masuk akal (irrasional).
Kemampuan belajar manusia bisa jadi mulanya diawali dari rasa keingin tahuannya saja.  Menurut teori Curiosity Berlyne, seperti yang dikemukakan oleh Susan Edelman (1997)  dari California State University, Northridge; “Curiosity is defined as a need, thirst or desire for knowledge. The concept of curiosity is control to motivation. The terms can be used as both a description of specific behavior as well as a hypothetical construct to explain the same behavior. Berlyne (1960) believes that curiosity is a motivational prerequisite for exploratory behavior”. 
Menurut Berlyne, ketidak pastian muncul ketika kita mengalami sesuatu yang baru, mengejutkan, tidak layak, atau kompleks.  Hal ini akan menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam sistim saraf kita.  Respon manusia ketika menghadapi suatu ketidak pastian inilah yang disebut dengan curiosity atau rasa ingin tahu.  Curiosity akan mengarahkan manusia kepada perilaku yang berusaha mengurangi ketidak pastian.  Rasa ingin tahu yang tinggi dapat juga dikaitkan dengan teori Maslow, yang menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang salah satunya adalah kebutuhan untuk memahami.
Rasa ingin tahu (curiosity) akan sesuatu hal, apakah itu rasa heran, takjub, bahkan keinginan menyingkap Kebenaran akan sesuatu yang menarik hatinya, sebenarnya dimiliki oleh setiap orang, namun hasrat besar atau kecilnya rasa keingintahuan pada setiap orang itu bisa jadi berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya, akan tetapi rasa keingintahuan itu tetap ada dan merupakan sifat alami yang positif yang dimiliki oleh setiap orang.  Ambil contoh, seorang anak yang akal-nya mulai berkembang sering menanyakan hal-hal yang masih belum dipahaminya, dan apapun yang ada disekelilingnya maupun dihadapannya yang belum diketahuinya, misalnya seorang anak kecil tidak tahu bahaya daripada air yang baru dimasak oleh ibunya, sebelum ia berhasil menjangkau benda panas tersebut. Rasa keingintahuannya mendorong untuk menjangkau benda panas tersebut, dan setelah ia merasakan panasnya benda itu, barulah  ia menyadari bahaya dari air yang baru dimasak itu
Namun sayangnya, perkembangan curiosity ini sering terjebak oleh lingkungan kehidupan yang serba rutin dan mekanis dalam keseharian, apalagi dimasa-masa sulit seperti sekarang ini yang untuk mendapatkan kebutuhan pokok saja kita harus berpacu agar tidak kehabisan diambil orang lain.  Misalnya, pagi bangun, mandi, sarapan pagi, berangkat kerja atau sekolah, nonton TV, tidur, bangun, terus berulang seperti itu, yang tidak ada bedanya dengan robot atau program komputer, termasuk makan yang harus tiga kali sehari, baik ia dalam kondisi lapar atau tidak tidak lapar, dan kalau ada yang menanyakan mengapa harus makan? (padahal habis nyemil). jawabannya kurang lebih ” Ya … karena sudah jam makan” (walaupun tidak lapar).
Karena pengkondisian seperti inilah, maka rasa ingin tahu (curiosity) itupun mulai tersingkirkan dengan diawali rasa tidak mau tahu yang disebabkan oleh adanya hal-hal lain yang menurutnya lebih penting untuk dipikirkan dan didahulukan untuk dikerjakan.  Ironisnya, hal lain yang lebih penting itu adalah program rutinitas dan mekanisasi hidup, dan segala sesuatu yang berlangsung disekelilingnya dipandang memang harus berjalan seperti itu, tanpa berusaha mencari kejelasan apa sebenarnya yang berkeliaran dan terjadi disekelilingnya itu.  Coba tanyakan kepada mereka, apa itu hidup sejahtera?; Apa ukurannya?.
 Bagi sebagian orang yang memahami hidup sejahtera itu, dengan terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan, pasti berbeda dengan orang lain yang memahami hidup sejahtera itu dengan terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin, dan terpuaskannya anggota masyarakat lainnya (sudah ada unsur empati).  Jadi, “kita memerlukan konsep yang jelas dulu untuk sampai kepada kebenaran-nya, karena dengan konsep yang salah atau kurang tepat, sama artinya dengan menempuh jalur yang berbeda”. Dengan kata lain, keluar dari fokus permasalahan yang sebenarnya. Untuk itu, kita sebenarnya dituntut untuk pandai dan mampu membaca setiap persoalan yang ada disekeliling kita, kemudian menganalisa agar dapat menempatkannya dalam proporsi yang tepat sesuai dengan batas kemampuan akal (daya pikir)  kita.
Malahan belakangan ini, Rasa Ingin Tahu (Curiosity) ini dijadikan kajian studi dan dicoba untuk diterapkan di sekolah-sekolah sebagai strategi untuk mengingkatkan motivasi belajar siswa sekolah dengan metode pembelajaran Inquiry dalam pembelajaran bidang Sains.  Dan metode yang dianggap cukup efektif adalah metode Inquiry David L. Haury, yang dalam artikelnya, Teaching Science Through Inquiry (1993), mengutip definisi yang diberikan oleh Alfred Novak:  “Inquiry merupakan tingkah laku yang terlihat dalam usaha manusia untuk menjelaskan secara rasional fenomena-fenomena yang memancing rasa ingin tahu. Dengan kata lain, Inquiry berkaitan dengan aktivitas dan keterampilan aktif yang fokus pada pencarian pengetahuan atau pemahaman untuk memuaskan rasa ingin tahu”.  (Haury 1993).
Rasa ingin tahu yang meluap-luap itu juga dialami oleh Albert Einsteinpria kelahiran 14 Maret 1870,  peraih hadiah Nobel yang dijuluki sebagai manusia paling jenius abad ke-20, mengatakan bahwa ia tidak pernah lepas dari rasa ingin tahu. Dia percaya bahwa pencapaiannya hanya disebabkan rasa ingin tahu yang kebanyakan orang telah lupa untuk menanyakannya, setelah mereka melewati masa kanak-kanaknya.  Rasa ingin tahu yang meluap-luap itu pula yang menyebabkan ia tidak menyukai cara pendidikan otoriter;  “Bagiku, hal yang paling buruk adalah sekolah yang berjalan hanya dengan menerapkan rasa takut, pemaksaan, dan wewenang semu. Perlakuan seperti itu merusak ketulusan perasaan, kejujuran, dan rasa percaya diri seorang murid”. Pendidikan gaya otoriter diperoleh Einstein sejak kota kelahirannya dikuasai oleh Kaisar Otto von Bismarckyang berasal dari Prusia.
Seperti yang telah disampaikan dalam risalah II, bahwa upaya manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, logis, dan analisis sering juga disebut dengan penalaran, yang didorong oleh rasa keingintahuan itu acapkali terbentur dengan batasan atau kemampuan akal itu sendiri.  Nalar sering dianggap dapat membawa kebajikan . Semakin bernalar seseorang semakin bajik dia, namun dugaan itu keliru, demikian ungkap, Prof Donald B. Calne, Direktur Neurodegenerative Disorders Centre (Pusat Penanggulangan Penyakit Saraf) dari Rumah Sakit Vancouver, yang juga Profesor neurologi pada University Of British Columbia, Vancouver, dalam bukunya Within Reason (Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia).
Dengan menggunakan pendekatan multidisiplin, mulai dari biologi evolusioner, psikologi, sampai neurologi, Calne memperlihatkan bahwa nalar ternyata tidak berperan dalam menentukan kebajikan atau tujuan manusia. Nalar hanyalah piranti semata, sehingga tidak berdasar bila dianggap bermuatan moral. Itulah mengapa kaum cendikiawan Jerman berbondong-bondong mendukung Nazi Jerman.  Sebaliknya, bersikap anti nalar juga keliru. Nalar telah membawa manusia pada peradaban yang luar biasa. Di bidang sains, misalnya, nalar memungkinkan manusia memperoleh hukum-hukum baru mengenai alam atau bidang-bidang baru seperti mekanika kuantum dan biologi molekuler. Di bidang seni, nalar membuat manusia mampu menjelaskan sifat-sifat bunyi dalam musik atau menetapkan dalil perspektif dalam lukisan.
Sepertinya Calne bermaksud mengingatkan kita bahwa nalar hanyalah produk biologis, dengan tujuan-tujuan biologis, dan keterbatasan biologis.  Dalam diri kita bekerja dorongan-dorongan naluri dan emosi yang terhubung dengan daya-daya budaya; nalar merupakan pelayan, bukan majikan bagi naluri, emosi, dan tujuan-tujuan biologis lainnya.  Apakah gerangan dunia akan lebih baik jika nalar diberi peran sebagai pengemudi?. Marilah sejenak kita tengok, syarat-syarat kebenaran dalam penalaran menurut Wikipedia, yakni:  ‘Jika seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk menemukan kebenaran’.
 Kebenaran dapat dicapai jika syarat-syarat dalam menalar dapat dipenuhi, antara lain:
  • Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan sesuatu yang memang salah.
  • Dalam penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis.  Jadi semua premis harus benar, maksudnya benar disini harus meliputi sesuatu yang benar secara formal maupun material.  Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat, diturunkan dari aturan-aturan berpikir yang tepat, sedangkan material berarti isi atau bahan-bahan yang dijadikan sebagai premis tepat.
Seperti yang telah kita bahas bersama dimuka bahwa logika yang perangkatnya adalaha akal yang didahului dengan keingintahuan seseorang akan suatu hal adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir lurus (tepat).  Berdasakan terminologi tersebut maka kiranya perlu dipahami; Apa berpikir itu?, dan apa sajakah bentuk-bentuk pemikiran pemikiran manusia?, dan bagaimana dengan orang-orang yang kurang cerdas menggunakan nalarnya untuk mencari kebenaran?