Kebenaran - Risalah III
[postlink]http://gillaullikcreation.blogspot.com/2010/02/kebenaran-risalah-iii.html[/postlink]
Penalaran seyogyanya adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (entesendens). dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi. Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi. Yang dimaksud dengan proposisi disini adalah, apa yang dihasilkan dengan mengucapkan suatu kalimat. Dengan kata lain, hal ini merupakan arti dari kalimat itu, dan bukan kalimat itu sendiri. Kalimat yang berbeda dapat mengekspresikan proposisi yang sama, jika artinya sama.
Atau mungkin kita pernah mengatakan, bahwa orang yang bependidikan lebih mampu mengambil keputusan yang bijaksana dan membedakan antara yang benar dan yang salah karena mereka menggunakan kekuatan nalar-nya. Betulkah nalar mengendalikan apa yang kita lakukan?, yakni jika kita berpikir lebih banyak akan bertindak lebih baik?. Sayangnya, beberapa fakta tidak mendukung kemungkinan tersebut. Justru para cendikiawan Jerman termasuk yang paling awal memeluk Ideologi Nazi, seperti Wagner dan Nietzshe, adalah orang-orang yang merupakan perintis kearah itu pada abad ke-19, dan pada tahun 1933, sejumlah belasan tokoh-tokoh perguruan tinggi sudah siap menjagokan Nazi, ditambah lagi para ahli hukum, dokter, dan bahkan para pemimpin industri, ramai-ramai bergabung. Dengan kata lain gerakan Nazi bukan dirancang oleh orang-orang bebal. Jadi, apa yang kita tahu mengenai nalar dan mengenai cara kita menggunakannya.
Selama ini nalar diperlakukan sebagai suatu kuasa yang mandiri, eksternal, dan tertinggi, yang sanggup memberikan kearifan dan kebaikan. Nalar mulai naik tahta ketika orang Yunani kuno menatap alam semesta dan berusaha menata dugaan-dugaan kacau yang beranak-pinak sepanjang sejarah. Orang Yunani bukanlah yang pertama menaruh perhatianh terhadap nalar, hanya saja merekalah yang menggunakan secara yang paling luas, sehingga menaikan gengsi wacana rasional ketingkat tertinggi.
Sophocles merangkum semangat zaman itu dalam selarik ungkapan, “Nalar adalah puncak anugerah Tuhan kepada manusia”. Seabad kemudian, Aristoteles mengulang pandangan ini, “Oleh karena itu bagi manusia, kehidupan berdasarkan nalar adalah yang terbaik dan yang paling menyenangkan, karena lebih daripada apapun juga, nalar adalah manusia itu sendiri”. Dalam masa Romawi kuno, Cicero memaklumkan, “Nalar merupakan raja sekaligus ratu atas segala hal”. Pandangan serupa timbul di India, dan di Cina, Confusius berada di jalur yang sama. (Donald B. Calne, Batas Nalar, h. 6-10)
Maraknya gagasan-gagasan baru selama 500-1 SM, membuat masa itu dapat disebut sebagai “Zaman Nalar Pertama”. Ketika itu bermunculanlah filsaf, kesusastraan, dan matematika; terjadi perubahan penting di bidang agama yang mencapai puncaknya dengan kelahiran agama Kristen dan Islam. Semua itu menimbulkan akibat-akibat penting yang bersifat politik. Zaman Nalar Kedua terjadi di Timur, yang dipimpin oleh para matematikawan Arab, dari abad ke-7 sampai ke-15. Zaman Nalar Ketiga kembali ke Eropa pada abad ke-17; zaman ini mirip pengulangan Zaman Nalar Pertama, dengan akibat-akibat yang sama hebatnya.
Sekilas nampak beberapa teori yang disinggung pada risalah-risalah sebelumnya, nampak beberapa berbeda pandangan, dan bahkan ada yang saling bertentangan dan menjatuhkan, Namun apabila dicermati secara bijak, tidak ada satu teoripun yang benar-benar ingin atau bertujuan merobohkan teori yang lainnya. Hakekat adanya teori sebenarnya untuk saling melengkapi satu sama lain, yang perlu disadari ialah: “Tidak ada satupun teori yang bisa berlaku umum disemua situasi, kondisi, dan semua bidang masalah”. Bahwa teori yang satu lebih cocok dan sesuai untuk diterapkan dalam bidang permasalahan tertentu, sedangkan teori lainnya lebih cocok untuk aplikasi bidang lainnya.
Baiklah, kita mulai lagi mencermati bersama beberapa pendapat-pendapat baik yang saling mendukung maupun yang kontra dengan penggunaan logika untuk menjawab pertanyaan tentang kebenaran kembali saya kutip agar kita mendapat masukan lebih banyak lagi, antara lain dari :
Francis Bacon (1561-1626), menganggap “logika lebih cocok untuk melestarikan kesalahan dan kesesatan yang ada ketimbang mengejar dan menentukan kebenaran“, padahal sering kita mendengar dalam percakapan sehari-hari orang mengatakan; “Alasannya tidak logis atau; Argumentasinya logis”, jadi yang dimaksud logis disini adalah masuk akal, entah dia menggunakan metode induksi atau deduksi yang menurut teori logika adalah: “cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual (induksi), atau dengan kegiatan berpikir yang sebaliknya yakni, “cara berpikir dari pernyataan yang bersifat umum, menuju kesimpulan yang bersifat khusus (deduksi)”.
Sementara itu George F. Kneller dalam bukunya Logic and Language of Education,mengatakan bahwa logika atau mantiq (dalam bahasa arab) disebutkan sebagai:“Penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir yang benar”, atau dengan kata lain George F. Kneller mendukung penggunaan logika dalam menentukan Kebenaran? , dan mari kita tengok dukungan lain yang mengikut sertakan hati nurani dalam metode berpikir yang benar, seperti Louis Ma’luf dalam kamus Munjid disebutkan sebagai “Hukum yang memelihara hati nurani dari kesalahan berpikir”.
Sementara itu Prof. Thaib Thahir A. Mu’in dalam bukunya Ilmu Mantiq, membatasi dengan: “Ilmu untuk menggerakan pikiran kepada jalan yang lurus dalam memperoleh suatu kebenaran”, Sedangkan Irving M. Copi dalam bukunya Introduction to Logics menyatakan bahwa: “Logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang benar dari penalaran yang salah”. Berbeda dengan pendapat dari Ibnu Shalah dan Imam An-Nawawi, menghukumi haram mempelajari mantiq sampai mendalam, sementara itu Al-Ghazali (1058-1111), menganjurkan dan menganggap baik; Sedangkan Jumhur Ulama, membolehkan bagi orang-orang yang cukup akalnya dan kokoh imannya.
Ada pendapat lain yang memberikan argumen untuk menentang banyaknya klaim dan kesimpulan dari kaum rasionalis yaitu, David Hume (1711-1777) yang memberikan pengaruh besar pada perkembangan pemikiran barat bahwa : “Tidak satupun ada dalam pikiran yang mulanya tidak ada perasaan”, ia menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat; Dan John Locke (1632-1704), bapak empiris dari Britania mengemukakan teori tabula rasa bahwa “manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, kemudian pengalamannya mengisi jiwanya yang kosong sehingga ia memiliki pengetahuan”, jadi bagaimanapun kompleksnya pengetahuan manusia, selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indra.
Anton Bakker, Ahmad Charris Zubair dalam bukunya Metodologi Penelitian Filsafat, mengatakan bahwa pengetahuan indrawi bersifat partial, dan itu disebabkan oleh adanya perbedaan antara indra yang satu dengan yang lainnya, berkenaan dengan sifat khas fisiologis indra dan dengan obyek yang dapat ditangkap indra. Dan masing-masing indra menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau mahluk yang menjadi obyeknya, dengan kata lain pengetahuan indrawi terbatas pada sensibilitas organ-organ tertentu.
Immanuel Kant (1724-1804), yang dinilai sejajar dengan Plato dan Aristoteles sebagai salah seorang filosof yang paling penting dalam kebudayaan barat, hadir pada waktu yang sangat krusial dalam perkembangan pemikiran, ketika terdapat ketegangan antara loyalitas kontinental pada pemikiran rasional (rasionalisme), dengan pengalaman inderwi (empirisme) yang mendapat dukungan Inggris pada sisi lain. Kant mencoba mensintesakan dua tema ini, ia mengatakan: “bahwa masing-masing aliran itu memiliki kedaulatan; Tetapi bila diberikan kedaulatannya, masing-masing juga menemui kesulitannya sendiri-sendiri”. Kant mengakuiKebenaran pengetahuan indra dan dilain pihak, diakuinya pula bahwa akal budi pun mampu mencapai kebenaran. Tetapi, syarat-syaratnya harus dicari, yaitu dengan menyelidiki atau mengeritik pengetahuan akal budi dan akan diterangkan sebabnya, maka dari hal itulah pengetahuan itu menjadi mungkin. Dan alirannya kemudian disebut Kritisisme. (Suparlan Suhartono, Ph.D, Dasar-Dasar Filsafat).
Mari sejenak sekarang kita menengok mata pelajaran sejarah siswa Sekolah Menengah Umum (SMU), maka kita akan mendapati bahwa; Ketika suatukebenaran diungkapkan, terjadilah benturan yang cukup keras antara pemahaman masyarakat pada masa itu, yang mereka terima melalui dogma agama pada jamannya, yakni ketika Nicolaus Copernicus (1473-1543) seorang pemuda berkebangsaan Polandia, yang belajar ilmu kedokteran dan hukum di Italia, yang tertarik dengan astronomi, menemukan bahwa bumi dan planet-planet lain di alam semesta itu sebenarnya bergerak mengelilingi matahari (pandanganheliosentris).
Dalam tulisannya ia mengemukakan, bahwa matahari berada di pusat jagad raya, dan bumi memiliki dua macam gerak, yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerak tahunan mengelilingi matahari; bukan bumi sebagaimana yang dikemukanan oleh Ptolomeus yang diperkuat oleh pihak gereja. Seperti yang kita ketahui bahwa teori Ptolomeus ini disebut geosentrisme, yang mempertahankan bumi sebagai pusat jagad raya. Dimana teori Copernicus ini besar sekali pengaruhnya dan melahirkan revolusi pemikiran tentang alam semesta, terutama astronomi dikalangan sarjana-sarjana Eropa, antara lain Tyco Brahe (1546-1601).
Kemudian Johannes Keppler (1571-1630), dan Galileo Galilei (1546-1642), yang juga menegaskan kembali kebenaran pandangan heliosentris (teori Copernicus). Untuk memperkuat pendapatnya, Galileo kemudia menciptakan teleskop bintang. Pandangan Copernicus yang diperkuat dengan serangkaian penemuan astronomi oleh Galileo, membuat kagum sejumlah fisikawan dan dipandang sebagai ilmuwan jenius pada jamannya. Namun, Galileo jelas bertentangan dengan keyakinan dan ajaran gereja pada waktu itu. Dimata Dinas Suci Inkuisisi Gereja Katholik, Galileo justru dianggap melenceng dengan tuduhan kafir. Dengan alasan inilah, pada tahun 1616 Galileo ditangkap oleh pihak gereja, yang kemudian vonis dijatuhkan kepadanya, dengan dikenai tahanan rumah, dicap sebagai pemberontak, dianggap telah mengganggu keimanan umat, serta melecehkan Kitab Suci dengan membuat tafsir sendiri.
Perdebatan, perbedaan pandangan yang disertai argumentasi-argumentasi, baik melalui pemikiran-pemikiran yang didukung dengan metode-metode tertentu, maupun yang melalui penelitian-penelitian ilmiah masih saja terus berlangsung. Manusia masih terus mencari hakikat kebenaran yang sesungguhnya, apakah itu melalui pendekatan secara logika, indrawi, instink atau intuisi dan lain sebagainya.
Seperti Al-Gazali yang hidup kurang lebih 400 tahun sebelum teori Copernicus dan teleskop bintang Galileo diciptakan, menolak indera penglihatan, sampai-sampai ia sedikitpun tidak menerimanya. Dikatakannya; “Terkadang aku melihat bayangan (suatu benda) diam tak bergerak, sehingga aku menganggapnya memang tak bergerak. Terkadang mata melihat bintang hanya sekecil keping dinar”, namun; Setelah diteliti dan dicermati, ternayata bayangan itu bergerak meski secara perlahan dan sedikit demi sedikit. Kalau begitu, mata telah menipu persepsi kita dalam hal yang dilihatnya. Kenyataannya, bayangan itu tidak diam. Yang kemudian, ilmu astronomi menunjukan bahwa bintang ternyata lebih besar daripada bumi. Jadi;
Bintang-bintang tampak kecil di depan mata (padahal nyatanya amat besar). Yang salah adalah mata kita, bukan bintang itu.
Dengan demikian, ada dua pemberi keputusan yang saling bertentangan: “indra dan akal”. Lalu, manakah dari keduanya yang kita percaya? Suatu saat, indra kita menetapkan suatu hukum, disaat lain akal menentang dan mendustakannya. Akal“mendustakannya sedemikian rupa sehingga indra tidak bisa berkutik. Maka hilanglah kepercayaan kita akan hal-hal indrawi”. Berdasarkan hal ini mau tidak mau Al-Ghazali menerima keputusan akal. Yang semula ia percaya bahwa indra penglihatan merupakan indra yang paling kuat diantara indra-indra lainnya untuk mengetahui hal-hal indrawi.
Setelah kalah telak didepan akal, indra memprotes Al-Ghazali supaya ia tetap memilihnya: “Atas alasan apa engkau yakin bahwa kepercayaanmu terhadap akal tidak akan seperti kepercayaanmu terhadapku (hal-hal indrawi). Dulu engkau percaya kepadaku, tetapi sewaktu datang hukum akal, engkau mendustakanku. Andaikata hukum akal tidak ada, pasti sampai sekarang engkau masih mempercayaiku. Jangan-jangan bila dibelakang hukum akal datang hukum lain dan tampak lebih meyakinkan, engkau akan menyalahkan hukum akal itu, sebagaimana engkau mendustakanku tatkala tampak hukum akal? Memang, hukum lain itu sekarang belum tampak, namun ketiadaannya bukan berarti mustahil kemunculannya di masa mendatang”. (Abu Bakar Abdurrazak, Inilah Kebenaran, Puncak Hujjah Al-Ghazali untuk Para Pencari Kebenaran).
Penalaran seyogyanya adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (entesendens). dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi. Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi. Yang dimaksud dengan proposisi disini adalah, apa yang dihasilkan dengan mengucapkan suatu kalimat. Dengan kata lain, hal ini merupakan arti dari kalimat itu, dan bukan kalimat itu sendiri. Kalimat yang berbeda dapat mengekspresikan proposisi yang sama, jika artinya sama.
Atau mungkin kita pernah mengatakan, bahwa orang yang bependidikan lebih mampu mengambil keputusan yang bijaksana dan membedakan antara yang benar dan yang salah karena mereka menggunakan kekuatan nalar-nya. Betulkah nalar mengendalikan apa yang kita lakukan?, yakni jika kita berpikir lebih banyak akan bertindak lebih baik?. Sayangnya, beberapa fakta tidak mendukung kemungkinan tersebut. Justru para cendikiawan Jerman termasuk yang paling awal memeluk Ideologi Nazi, seperti Wagner dan Nietzshe, adalah orang-orang yang merupakan perintis kearah itu pada abad ke-19, dan pada tahun 1933, sejumlah belasan tokoh-tokoh perguruan tinggi sudah siap menjagokan Nazi, ditambah lagi para ahli hukum, dokter, dan bahkan para pemimpin industri, ramai-ramai bergabung. Dengan kata lain gerakan Nazi bukan dirancang oleh orang-orang bebal. Jadi, apa yang kita tahu mengenai nalar dan mengenai cara kita menggunakannya.
Selama ini nalar diperlakukan sebagai suatu kuasa yang mandiri, eksternal, dan tertinggi, yang sanggup memberikan kearifan dan kebaikan. Nalar mulai naik tahta ketika orang Yunani kuno menatap alam semesta dan berusaha menata dugaan-dugaan kacau yang beranak-pinak sepanjang sejarah. Orang Yunani bukanlah yang pertama menaruh perhatianh terhadap nalar, hanya saja merekalah yang menggunakan secara yang paling luas, sehingga menaikan gengsi wacana rasional ketingkat tertinggi.
Sophocles merangkum semangat zaman itu dalam selarik ungkapan, “Nalar adalah puncak anugerah Tuhan kepada manusia”. Seabad kemudian, Aristoteles mengulang pandangan ini, “Oleh karena itu bagi manusia, kehidupan berdasarkan nalar adalah yang terbaik dan yang paling menyenangkan, karena lebih daripada apapun juga, nalar adalah manusia itu sendiri”. Dalam masa Romawi kuno, Cicero memaklumkan, “Nalar merupakan raja sekaligus ratu atas segala hal”. Pandangan serupa timbul di India, dan di Cina, Confusius berada di jalur yang sama. (Donald B. Calne, Batas Nalar, h. 6-10)
Maraknya gagasan-gagasan baru selama 500-1 SM, membuat masa itu dapat disebut sebagai “Zaman Nalar Pertama”. Ketika itu bermunculanlah filsaf, kesusastraan, dan matematika; terjadi perubahan penting di bidang agama yang mencapai puncaknya dengan kelahiran agama Kristen dan Islam. Semua itu menimbulkan akibat-akibat penting yang bersifat politik. Zaman Nalar Kedua terjadi di Timur, yang dipimpin oleh para matematikawan Arab, dari abad ke-7 sampai ke-15. Zaman Nalar Ketiga kembali ke Eropa pada abad ke-17; zaman ini mirip pengulangan Zaman Nalar Pertama, dengan akibat-akibat yang sama hebatnya.
Sekilas nampak beberapa teori yang disinggung pada risalah-risalah sebelumnya, nampak beberapa berbeda pandangan, dan bahkan ada yang saling bertentangan dan menjatuhkan, Namun apabila dicermati secara bijak, tidak ada satu teoripun yang benar-benar ingin atau bertujuan merobohkan teori yang lainnya. Hakekat adanya teori sebenarnya untuk saling melengkapi satu sama lain, yang perlu disadari ialah: “Tidak ada satupun teori yang bisa berlaku umum disemua situasi, kondisi, dan semua bidang masalah”. Bahwa teori yang satu lebih cocok dan sesuai untuk diterapkan dalam bidang permasalahan tertentu, sedangkan teori lainnya lebih cocok untuk aplikasi bidang lainnya.
Baiklah, kita mulai lagi mencermati bersama beberapa pendapat-pendapat baik yang saling mendukung maupun yang kontra dengan penggunaan logika untuk menjawab pertanyaan tentang kebenaran kembali saya kutip agar kita mendapat masukan lebih banyak lagi, antara lain dari :
Francis Bacon (1561-1626), menganggap “logika lebih cocok untuk melestarikan kesalahan dan kesesatan yang ada ketimbang mengejar dan menentukan kebenaran“, padahal sering kita mendengar dalam percakapan sehari-hari orang mengatakan; “Alasannya tidak logis atau; Argumentasinya logis”, jadi yang dimaksud logis disini adalah masuk akal, entah dia menggunakan metode induksi atau deduksi yang menurut teori logika adalah: “cara berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual (induksi), atau dengan kegiatan berpikir yang sebaliknya yakni, “cara berpikir dari pernyataan yang bersifat umum, menuju kesimpulan yang bersifat khusus (deduksi)”.
Sementara itu George F. Kneller dalam bukunya Logic and Language of Education,mengatakan bahwa logika atau mantiq (dalam bahasa arab) disebutkan sebagai:“Penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir yang benar”, atau dengan kata lain George F. Kneller mendukung penggunaan logika dalam menentukan Kebenaran? , dan mari kita tengok dukungan lain yang mengikut sertakan hati nurani dalam metode berpikir yang benar, seperti Louis Ma’luf dalam kamus Munjid disebutkan sebagai “Hukum yang memelihara hati nurani dari kesalahan berpikir”.
Sementara itu Prof. Thaib Thahir A. Mu’in dalam bukunya Ilmu Mantiq, membatasi dengan: “Ilmu untuk menggerakan pikiran kepada jalan yang lurus dalam memperoleh suatu kebenaran”, Sedangkan Irving M. Copi dalam bukunya Introduction to Logics menyatakan bahwa: “Logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang benar dari penalaran yang salah”. Berbeda dengan pendapat dari Ibnu Shalah dan Imam An-Nawawi, menghukumi haram mempelajari mantiq sampai mendalam, sementara itu Al-Ghazali (1058-1111), menganjurkan dan menganggap baik; Sedangkan Jumhur Ulama, membolehkan bagi orang-orang yang cukup akalnya dan kokoh imannya.
Ada pendapat lain yang memberikan argumen untuk menentang banyaknya klaim dan kesimpulan dari kaum rasionalis yaitu, David Hume (1711-1777) yang memberikan pengaruh besar pada perkembangan pemikiran barat bahwa : “Tidak satupun ada dalam pikiran yang mulanya tidak ada perasaan”, ia menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat; Dan John Locke (1632-1704), bapak empiris dari Britania mengemukakan teori tabula rasa bahwa “manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, kemudian pengalamannya mengisi jiwanya yang kosong sehingga ia memiliki pengetahuan”, jadi bagaimanapun kompleksnya pengetahuan manusia, selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indra.
Anton Bakker, Ahmad Charris Zubair dalam bukunya Metodologi Penelitian Filsafat, mengatakan bahwa pengetahuan indrawi bersifat partial, dan itu disebabkan oleh adanya perbedaan antara indra yang satu dengan yang lainnya, berkenaan dengan sifat khas fisiologis indra dan dengan obyek yang dapat ditangkap indra. Dan masing-masing indra menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau mahluk yang menjadi obyeknya, dengan kata lain pengetahuan indrawi terbatas pada sensibilitas organ-organ tertentu.
Immanuel Kant (1724-1804), yang dinilai sejajar dengan Plato dan Aristoteles sebagai salah seorang filosof yang paling penting dalam kebudayaan barat, hadir pada waktu yang sangat krusial dalam perkembangan pemikiran, ketika terdapat ketegangan antara loyalitas kontinental pada pemikiran rasional (rasionalisme), dengan pengalaman inderwi (empirisme) yang mendapat dukungan Inggris pada sisi lain. Kant mencoba mensintesakan dua tema ini, ia mengatakan: “bahwa masing-masing aliran itu memiliki kedaulatan; Tetapi bila diberikan kedaulatannya, masing-masing juga menemui kesulitannya sendiri-sendiri”. Kant mengakuiKebenaran pengetahuan indra dan dilain pihak, diakuinya pula bahwa akal budi pun mampu mencapai kebenaran. Tetapi, syarat-syaratnya harus dicari, yaitu dengan menyelidiki atau mengeritik pengetahuan akal budi dan akan diterangkan sebabnya, maka dari hal itulah pengetahuan itu menjadi mungkin. Dan alirannya kemudian disebut Kritisisme. (Suparlan Suhartono, Ph.D, Dasar-Dasar Filsafat).
Mari sejenak sekarang kita menengok mata pelajaran sejarah siswa Sekolah Menengah Umum (SMU), maka kita akan mendapati bahwa; Ketika suatukebenaran diungkapkan, terjadilah benturan yang cukup keras antara pemahaman masyarakat pada masa itu, yang mereka terima melalui dogma agama pada jamannya, yakni ketika Nicolaus Copernicus (1473-1543) seorang pemuda berkebangsaan Polandia, yang belajar ilmu kedokteran dan hukum di Italia, yang tertarik dengan astronomi, menemukan bahwa bumi dan planet-planet lain di alam semesta itu sebenarnya bergerak mengelilingi matahari (pandanganheliosentris).
Dalam tulisannya ia mengemukakan, bahwa matahari berada di pusat jagad raya, dan bumi memiliki dua macam gerak, yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerak tahunan mengelilingi matahari; bukan bumi sebagaimana yang dikemukanan oleh Ptolomeus yang diperkuat oleh pihak gereja. Seperti yang kita ketahui bahwa teori Ptolomeus ini disebut geosentrisme, yang mempertahankan bumi sebagai pusat jagad raya. Dimana teori Copernicus ini besar sekali pengaruhnya dan melahirkan revolusi pemikiran tentang alam semesta, terutama astronomi dikalangan sarjana-sarjana Eropa, antara lain Tyco Brahe (1546-1601).
Kemudian Johannes Keppler (1571-1630), dan Galileo Galilei (1546-1642), yang juga menegaskan kembali kebenaran pandangan heliosentris (teori Copernicus). Untuk memperkuat pendapatnya, Galileo kemudia menciptakan teleskop bintang. Pandangan Copernicus yang diperkuat dengan serangkaian penemuan astronomi oleh Galileo, membuat kagum sejumlah fisikawan dan dipandang sebagai ilmuwan jenius pada jamannya. Namun, Galileo jelas bertentangan dengan keyakinan dan ajaran gereja pada waktu itu. Dimata Dinas Suci Inkuisisi Gereja Katholik, Galileo justru dianggap melenceng dengan tuduhan kafir. Dengan alasan inilah, pada tahun 1616 Galileo ditangkap oleh pihak gereja, yang kemudian vonis dijatuhkan kepadanya, dengan dikenai tahanan rumah, dicap sebagai pemberontak, dianggap telah mengganggu keimanan umat, serta melecehkan Kitab Suci dengan membuat tafsir sendiri.
Perdebatan, perbedaan pandangan yang disertai argumentasi-argumentasi, baik melalui pemikiran-pemikiran yang didukung dengan metode-metode tertentu, maupun yang melalui penelitian-penelitian ilmiah masih saja terus berlangsung. Manusia masih terus mencari hakikat kebenaran yang sesungguhnya, apakah itu melalui pendekatan secara logika, indrawi, instink atau intuisi dan lain sebagainya.
Seperti Al-Gazali yang hidup kurang lebih 400 tahun sebelum teori Copernicus dan teleskop bintang Galileo diciptakan, menolak indera penglihatan, sampai-sampai ia sedikitpun tidak menerimanya. Dikatakannya; “Terkadang aku melihat bayangan (suatu benda) diam tak bergerak, sehingga aku menganggapnya memang tak bergerak. Terkadang mata melihat bintang hanya sekecil keping dinar”, namun; Setelah diteliti dan dicermati, ternayata bayangan itu bergerak meski secara perlahan dan sedikit demi sedikit. Kalau begitu, mata telah menipu persepsi kita dalam hal yang dilihatnya. Kenyataannya, bayangan itu tidak diam. Yang kemudian, ilmu astronomi menunjukan bahwa bintang ternyata lebih besar daripada bumi. Jadi;
Bintang-bintang tampak kecil di depan mata (padahal nyatanya amat besar). Yang salah adalah mata kita, bukan bintang itu.
Dengan demikian, ada dua pemberi keputusan yang saling bertentangan: “indra dan akal”. Lalu, manakah dari keduanya yang kita percaya? Suatu saat, indra kita menetapkan suatu hukum, disaat lain akal menentang dan mendustakannya. Akal“mendustakannya sedemikian rupa sehingga indra tidak bisa berkutik. Maka hilanglah kepercayaan kita akan hal-hal indrawi”. Berdasarkan hal ini mau tidak mau Al-Ghazali menerima keputusan akal. Yang semula ia percaya bahwa indra penglihatan merupakan indra yang paling kuat diantara indra-indra lainnya untuk mengetahui hal-hal indrawi.
Setelah kalah telak didepan akal, indra memprotes Al-Ghazali supaya ia tetap memilihnya: “Atas alasan apa engkau yakin bahwa kepercayaanmu terhadap akal tidak akan seperti kepercayaanmu terhadapku (hal-hal indrawi). Dulu engkau percaya kepadaku, tetapi sewaktu datang hukum akal, engkau mendustakanku. Andaikata hukum akal tidak ada, pasti sampai sekarang engkau masih mempercayaiku. Jangan-jangan bila dibelakang hukum akal datang hukum lain dan tampak lebih meyakinkan, engkau akan menyalahkan hukum akal itu, sebagaimana engkau mendustakanku tatkala tampak hukum akal? Memang, hukum lain itu sekarang belum tampak, namun ketiadaannya bukan berarti mustahil kemunculannya di masa mendatang”. (Abu Bakar Abdurrazak, Inilah Kebenaran, Puncak Hujjah Al-Ghazali untuk Para Pencari Kebenaran).